Apotek Belum Pasang Harga Obat di Kemasan
KOTA, WARTA KOTA–Meski Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) Nomor 069/Menkes/SK/II/2006 tentang Pencantuman Harga Eceran Tertinggi (HET) Pada Kemasan Obat mulai berlaku 3 Agustus, belum semua apotek melaksanakannya. Tak sedikit apotek yang belum menempelkan label harga pada setiap kemasan obat yang dijual ke masyarakat. Kurangnya sosialisasi dan kendala teknis, yakni tenaga dan waktu, menjadi alasan para pemilik apotek belum menaati kewajiban itu.Faisal, Wakil Administrasi Apotek Beji, Depok, mengaku baru tahu adanya keputusan menteri itu dua pekan silam. Beberapa obat memang sudah diberi label harga seperti obat bebas dan vitamin, tapi obat yang dibeli dengan resep dokter banyak yang belum dilabeli. Kendala teknisnya yaitu tenaga dan waktu untuk memberikan label pada setiap kemasan. Soalnya, jumlahnya mungkin mencapai ribuan jenis. “Baru tahu dua minggu lalu dari Ikatan Sarjana Farmasi. Mudah-mudahan bulan depan label harga obat sudah ditempelkan di setiap kemasan,” kata Faisal saat ditemui Warta Kota, Rabu (9/8).
Hal yang sama juga terjadi di Apotek Pala Farma di Jalan Nusantara, Depok. Baru sebagian kemasan obat yang diberi label harga. Susilo, pegawai Pala Farma, sudah mengetahui aturan itu sejak Maret lalu, namun keterbatasan tenaga menjadi kendala untuk menjalankan kewajiban itu. “Kalau mau ngerjain ini (menempelkan label harga di kemasan obat –Red), lalu yang melayani konsumen siapa,” katanya. Untuk menyampaikan harga obat kepada konsumen, dia memperlihatkan daftar harga obat yang ditaruh di dalam map plastik.
Sementara Apotek “G” di kawasan Jakarta Barat belum mencantumkan label sama sekali di kemasan obat. Bahkan Listya, Asisten Apoteker Apotik “G” mengaku belum mengetahui adanya ketentuan itu. “Belum denger tuh,” katanya singkat.
Konsumen sendiri, agaknya tidak terlalu mempedulikan adanya ketentuan Kepmenkes. “Sudah percaya saja. Karena saya tahu harga di sini lebih murah. Kalau enggak ada, baru cari di apotek lain,” ujar Ny Nayla yang ditemui di Apotek Beji ketika menebus obat alergi untuk anaknya sebesar Rp 175.000.
Santo juga demikian. Dia tidak terlalu pusing soal harga. Kalaupun menanyakan harga ke apotek, ketika mendapat resep dokter, tujuannya hanya untuk mengetahui apakah uang yang dibawa cukup. “Membeli obat kan hanya kalau sakit saja, itupun jarang. Jadi soal harga ya pasrah saja dengan harga yang ditetapkan apotek,” katanya.
Menteri Kesehatan Siti Fadilah Soepari mengeluarkan Kepmenkes Nomor 069/Menkes/SK/II/2006 tanggal 7 Februari lalu tentang Pencantuman Harga Eceran Tertinggi (HET) Pada Kemasan Obat. Namun keputusan itu berlaku efektif mulai 3 Agustus 2006. Kepmenkes itu berujuan untuk menginformasikan harga obat yang lebih transparan ke konsumen. HET dihitung dari harga netto obat di apotek ditambah pajak pertambahan nilai (PPN) 10 persen, plus margin untuk apotek sebesar 25 persen. Menkes mengaku, saat ini pemerintah sulit mengontrol harga obat baik yang dilepas oleh produsen farmasi maupun yang ditetapkan apotek.
Sementara itu, pihak apotek juga mengaku tidak mengambil margin keuntungan yang banyak. Faisal mengakui jarang sekali mengambil margin sampai 25 persen. Paling banyak 20 persen. Begitu juga Listya. “Apotek di sini jarang mengambil margin sampai 25 persen. Persaingan ketat, kalau mahal-mahal pelanggan bisa lari,” katanya.
Pada bagian lain, konsumen sudah cukup pintar menyikapi harga obat. Misalnya dengan membeli obat generik. Padahal, saat ini ada juga obat paten yang lebih murah ketimbang obat generik. Contohnya, jenis simfastatin (untuk kolesterol). Obat generiknya Rp 1.500/tablet sedangkan obat paten Rp 1.000/tablet. (Iis)
Sumber: Warta Kota
Rabu, 25 Mei 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar